Belum lama ini, pengesahan salah satu UU yakni UU Cipta Kerja telah mengalami penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil. Namun, di tengah konflik ini Presiden Joko Widodo mempersilahkan masyarakat yang keberatan dengan UU Cipta Kerja untuk mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai langkah yang sesuai dengan sistem tata negara di Indonesia.
Tentang Judicial Review
Judicial Review merupakan proses pengajuan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Proses penilaian isi peraturan perundang-undangan ini untuk menentukan apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Istilah lainnya adalah permohonan sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UU No.8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu permintaan yang diajukan secara tertulis oleh pemohon kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
- Pengajuan Undang – Undang terhadap UUD RI 1945
- Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945
- Pembubaran partai politik
- Perselisihan tentang hasil pemilihan umum
- Pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara
Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi. Permohonan harus ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap. Hal sekurang-kurangnya harus memuat, nama dan alamat pemohon, uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan hal-hal yang diminta untuk diputus.
Hubungi tim marketing kami di sini.
Dasar Hukum
Secara umum, judicial review diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD RI 1945 (Amandemen III UUD 1945) sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang – Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Selain itu judicial review atau uji materiil juga diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Amandemen III UUD 1945, sebagai berikut:
“Mahkamah Agung berwenang menjadi pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”
Kemudian, berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa permohonan judicial review UU terhadap Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) atau yang disebut juga dengan istilah pengujian UU (PUU) terhadap UUD 1945 dapat dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK), sedangkan judicial review peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU menjadi wewenang Mahkamah Agung (MA).
Sebagai informasi tambahan, objek permohonan judicial review ke MK tidak terbatas pada UU tapi juga bisa diajukan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) seperti yang ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang – Undang (PMK 2/2021).
Siapa Saja yang Dapat Mengajukan Permohonan Judicial Review?
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003) pihak yang merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan akibat diberlakukannya suatu UU dapat mengajukan permohonan PUU terhadap UUD 1945 ke MK (judicial review) sebagai pemohon, yaitu:
- Perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama;
- Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
- Badan hukum publik atau privat; atau
- Lembaga negara.
Adapun yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya UU atau Perpu jika:
- Ada hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
- Hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon dirugikan oleh berlakunya UU atau Perpu yang dimohonkan pengujian;
- Kerugian konstitusional dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
- Ada hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya UU atau Perpu yang dimohonkan pengujian; dan
- Ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan terjadi.
Tahapan Permohonan Judicial Review ke MK
Secara garis besar, terdapat beberapa tahapan yang dilalui dalam pengajuan permohonan judicial review ke MK, yaitu:
- Pengajuan Permohonan
Pertama, pemohon dapat mengajukan permohonan secara luring (offline) atau daring (online) atau melalui media elektronik lainnya. Khusus permohonan pengujian formil, diajukan maksimal 45 hari sejak UU atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Permohonan diajukan secara tertulis berbahasa Indonesia secara luring (offline) yang ditandatangani pemohon disertai dengan daftar alat bukti beserta alat bukti yang mendukung permohonan.
2. Persidangan
Kedua, mengenai jadwal penyelenggaraan persidangan dimuat di laman MK. Persidangan perkara PUU dapat dilakukan secara luring (offline), daring (online), melalui video conference, dan/atau media elektronik lainnya.
Tahapan persidangan perkara PUU dilaksanakan melalui:
3. Pemeriksaan Pendahuluan
Ketiga, sebelum memeriksa pokok perkara, MK akan memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, dalam 2 tahap sidang:
-
- Pemeriksaan pendahuluan dengan agenda mendengar pokok-pokok permohonan, memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, mencakup identitas pemohon, kewenangan MK, kedudukan hukum pemohon, alasan permohonan (posita), dan petitum.
- Pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan serta pengesahan alat bukti pemohon.
4. Pemeriksaan Persidangan
Keempat, pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh 9 orang hakim atau minimal 7 orang hakim.
5. Pengucapan Putusan
Setelah dilakukan pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi melaksanakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk mengambil keputusan secara musyawarah untuk mufakat namun jika mufakat tidak tercapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
Putusan MK ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan panitera, serta memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Layanan Mega Penerjemah
Mega Penerjemah merupakan perusahaan bergerak di bidang jasa, dengan berbagai layanan yang diberikan seperti Penerjemah Tersumpah, Legalisasi, dan Interpreter. Anda dapat konsultasikan kebutuhan Anda dengan tim marketing kami.
penerjemah | interpreter | legalisasi |