Perkembangan teknologi informasi telah menjadikan masyarakat lebih cenderung terjadi perubahan yang cepat di masyarakat. Berkenaan dengan pembangunan teknologi, kemajuan dan perkembangan teknologi informasi melalui internet, peradaban manusia dihadapkan pada fenomena – fenomena baru yang mampu mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia. Artikel ini akan membahas mengenai bagaimana penerapan hukum untuk kejahatan siber di Indonesia.
Penerapan Hukum terhadap Kejahatan Siber di Indonesia
Kejahatan dunia maya atau cyber crime merupakan istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer yang menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan.
Penerapan hukum dalam contoh suatu kasus, seorang WNI menggunakan identitas palsu (berupa foto dan identitas dari seorang WNA yang tinggal di luar negeri tanpa izin) melakukan chatting dengan seorang Warga Negara Brunei karena WNI tersebut ingin mendapatkan informasi tertentu darinya. Setelah beberapa lama berkomunikasi, WNI yang dimaksud baru mengungkapkan identitas yang sebenarnya pada Warga Brunei tersebut. Lalu bagaimana penerapan hukum WNI tersebut?
Kasus ini sebenarnya hanya difokuskan pada ketentuan dan prinsip hukum pidana, khususnya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016).
Salah satu karakteristik penanganan cyber crime merupakan kemungkinan tumpang tindih dalam yurisdiksi. Hal ini disebabkan pada sifat dari Informasi Elektronik yang dapat ditransmisikan dari mana saja dan dapat menimbulkan akibat di berbagai tempat, baik di dalam maupun di luar wilayah suatu negara.
Prinsip Keberlakuan Hukum Pidana Indonesia
Prinsip – prinsip keberlakuan hukum pidana Indonesia telah diatur dalam UU Hukum Pidana (KUHP) dan prinsip – prinsip tersebut didasarkan pada asas – asas yang berlaku secara internasional, antara lain asa teritorialitas, asas nasionalitas aktif, dan asas nasionalitas pasif.
Berdasarkan asas teritorial, hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang, baik WNI maupun WNA yang telah melakukan pidana di dalam wilayah Indonesia, baik wilayah darat maupun laut. Prinsip ini disebut prinsip teritorial. Ruang lingkup teritorial ini diperluas dengan mempersamakan kendaraan air dan pesawat udara yang menggunakan bendera suatu negara sebagai bagian dari wilayah negara itu.
Dalam KUHP, asas teritorial diatur dalam Pasal 2 KUHP sedangkan perluasan dari asas ini diatur dalam Pasal 3 KUHP, dengan bunyi seperti berikut:
Pasal 2 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”
Pasal 3 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.”
Tidak hanya itu saja, dalam Pasal 4 KUHP dan Pasal 5 KUHP juga terdapat asas – asas keberlakuan pidana. Pasal 4 KUHP memuat asas nasionalitas pasif. Maksudnya, hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang, baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar kepentingan Indonesia. Sedangkan, Pasal 5 KUHP mengandung asas nasionalitas aktif yaitu hukum pidana Indonesia berlaku terhadap WNI dimana pun ia berada.
Manipulasi Informasi dan Dokumen Elektronik
Perlu dilihat pengaturan dalam Pasal 35 UU ITE, berikut ini:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, perusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.”
Tujuan dari pengaturan Pasal 35 UU ITE ialah dapat dipercayanya dalam menjaga informasi atau dokumen elektronik (reliability) khususnya dalam transaksi elektronik keautentikan mengindikasikan bahwa informasi atau dokumen elektronik dapat dipercaya (reliable).
Pasal 35 UU ITE telah diatur secara alternatif, maksudnya cukup dibuktikan bahwa pelaku melakukan salah satu dari perbuatan yang dimaksud. Melalui perbuatan – perbuatan ini maka akan muncul hak yang tidak sah bagi dirinya atau orang lain. Penggunaan hak yang dimaksud tentunya menjadi tidak sah.
Secara umum, dilansir dari hukumonline.com yang dimaksud dengan manipulasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diakses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
- Tindakan untuk mengerjakan sesuatu dengan tangan atau alat-alat mekanis secara terampil
- Upaya kelompok atau perorangan untuk mempengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain tanpa orang itu menyadarinya
- Penggelapan; penyelewengan
Penerapan Kasus
Berdasarkan informasi yang sudah disampaikan sebelumnya, perbuatan WNI dengan menggunakan identitas WNA dan fotonya dengan tujuan seolah – olah ia adalah seorang WNA tersebut dan setiap informasi yang disampaikan melalui identitas palsu itu berasal dari WNA yang dimaksud merupakan salah satu bentuk perbuatan yang dilarang berdasarkan Pasal 35 UU ITE.
Dalam kasus ini, yang menjadi korban bukan hanya warga negara Brunei saja namun juga WNA yang identitasnya digunakan tanpa hak oleh WNI tersebut. Secara normatif, WNI tersebut dapat diproses sebagai pelaku berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 35 UU ITE. Dan jika memenuhi unsur pasal di atas, WNI tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp.12 miliar.
WNI tersebut pun juga dapat diproses berdasarkan UU Pidana Negara Brunei karena warga Negara Brunei tersebut adalah korban. Tidak hanya itu saja, sekiranya perbuatan yang dilakukan WNI diketahui oleh pemilik identitas dan foto tersebut maka ia juga dapat memproses WNI tersebut karena menggunakan identitasnya tanpa izin.
Secara normatif, mereka dapat memprosesnya di Indonesia maupun di masing – masing negara. Akan tetapi, proses hukum tersebut jauh lebih kompleks karena terkait dengan, antara lain isu perbedaan yurisdiksi, isu tempus dan locus delicti, keberadaan bukti – bukti, isu mutual legal assistance, dan biaya memproses perkara.
Layanan Mega Translation Service
Mega Translation Service merupakan salah satu Jasa Penerjemah Tersumpah, yang melayani penerjemah, interpreter, proofreading, dan legalisasi dokumen. Anda dapat konsultasikan berbagai kekhawatiran Anda kepada kami. Hubungi kami disini.
penerjemah | interpreter | legalisasi |