Penggusuran yang dilakukan untuk pembangunan lain bukan suatu hal yang jarang terjadi di Indonesia, karena sampai saat ini pun masih terus dilakukan oleh pemerintah. Dengan adanya penggusuran paksa tersebut, apakah dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM? terlebih adanya ganti rugi terhadap permukiman padat penduduk. Berikut kami akan bahas lebih mendalam.
Penggusuran Paksa
Menurut Committee of Economic, Social, and Cultural Rights berpendapat dalam General Comment No.7 on the Right to Adequate Housing (Article 11 (1) of the Covenant) mengatakan bahwa:
“Forced eviction is “the permanent or temporary removal against their will of individuals, families and/or communities from the homes and/or land which they occupy, without the provision of, and access to, appropriate forms of legal or other protection.”
Apabila diterjemahkan, penggusuran paksa dapat diartikan dengan pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang duduki. Baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Selain itu, Pasal 28H ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (UUD 1945) menerangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kemudian, apabila uraian-uraian di atas dibaca secara komprehensif, menurut hemat kami, penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Bagaimanapun, hal ini juga dikuatkan dalam Poin Pertama Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang bahkan menyebut bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat.
Anda dapat hubungi tim marketing kami di sini.
Langkah Dasar
Selanjutnya, apabila penggusuran dilakukan untuk kepentingan pengadaan tanah untuk pembangunan, maka penggusuran tersebut seharusnya tunduk pada UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU 2/2012). Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
- Uang
- Tanah pengganti
- Pemukiman kembali
- Kepemilikan saham; atau
- Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Sayangnya, tidak ada ketentuan pidana yang secara khusus diatur dalam UU 2/2012 yang dapat menjerat pemerintah jika tidak menaati ketentuan dalam UU 2/2012. Maka apabila penggusuran dilakukan tanpa ganti kerugian, menurut hemat kami, Anda dapat menggugat pemerintah secara perdata atas perbuatan melawan hukum.
Hal ini diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang berbunyi:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
Contoh Kasus
Dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 192/PDT/2018/PT.DKI, dijelaskan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat cq. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air cq. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane selaku Pembanding (Tergugat I) mengajukan banding terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 262/PDT.G.Plw/Class Action/2016/PN.Jkt.Pst.
Dalam putusan banding dijelaskan bahwa Pembanding digugat melalui gugatan perwakilan kelompok (hal. 1). Para Terbanding (Para Penggugat) merupakan pemilik tanah dan bangunan di daerah Tebet, Jakarta Selatan (hal. 19). Tanah dan bangunan tersebut telah dan terhadap sisanya akan segera dihancurkan dan diambil secara paksa serta melawan hukum (hal. 19).
Kemudian, atas perbuatan tersebut Para Tergugat telah dan akan mengalami kerugian materiil dan immateriil dan tidak mendapatkan ganti kerugian (hal. 1 – 13). Gugatan tersebut didasarkan atas Pasal 1365 KUH Perdata terkait pelanggaran terhadap kewajiban yang tercantum dalam undang-undang yang berlaku. Di antaranya UUD 1945 dan UU 11/2005 (hal. 20 – 21, 62 & 65).
penerjemah | interpreter | legalisasi |