Konflik Palestina dan Israel merupakan salah satu konflik dunia internasional yang paling lama dan telah berlangsung lebih dari setengah abad yang melibatkan banyak negara Arab dan negara Barat. Salah satu isu pokok dalam konflik antara Palestina dan Israel ini menyangkut wilayah kedaulatan. Dalam hukum internasional penjajahan memang sudah dilarang. Lantas bagaimana upaya atau solusi yang realistis dalam mendamaikan konflik tersebut dari perspektif Hukum Internasional?
Sejarah Singkat Konflik Palestina dan Israel
Konflik Palestina dan Israel memang selama ini lebih banyak dibahas dalam perspektif hubungan internasional. Meskipun demikian, sebagai salah satu isu mengenai sengketa antar negara, konflik ini juga kental dengan dimensi hukum internasionalnya. Beberapa fakta hukum yang relevan dalam hukum internasional adalah:
- Pada saat proses dekolonisasi pasca Perang Dunia II, wilayah sengketa (Palestina) secara keseluruhan berada di bawah Inggris (British Mandate for Palestine 1920 – 1948). Dengan arti rakyat Palestina berhak atas penentuan nasib sendiri (self-determination) untuk merdeka dari Inggris.
- Inggris sebagai pemegang mandat gagal menengahi konflik antara komunitas Arab dan Yahudi di Palestina mengenai masa depan negara baru ini. Kemudian, menyerahkan persoalan ini ke Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) dan sejak 1948 berhenti sebagai pemegang mandat.
- Majelis Umum PBB mengambil alih sengketa ini dan mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/181 (II) dan Partition Plan (29 November 1947) (Resolusi MU PPB 181). Rencana ini ditolak oleh komunitas Arab dan negara – negara Arab.
- Pada tahun 1948, komunitas Yahudi memproklamasikan berdirinya negara Israel dan mulai mengokupasi secara perlahan – lahan wilayah Palestina
- Gagalnya inisiatif PBB tersebut melahirkan kevakuman kekuasaan di Palestina dan berdirinya negara Israel. Hal ini, memicu perang Israel dengan negara – negara tetangga pada 1948. Pasca perang ini, Israel berhasil menguasai secara de facto wilayah yang semula ditetapkan untuk Israel dalam Resolusi MU PBB 181, serta hampir 60% dari wilayah yang ditetapkan untuk Palestina.
Hubungi tim marketing kami di sini.
Kedudukan Hukum Israel dan Palestina
Konflik ini telah berevolusi dan Israel telah diakui sebagai negara dan menjadi anggota PBB pada tahun 1949. Dengan ini, melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/273 (III) (1949). Sedangkan, Palestina, melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/43/177 (1988), deklarasi kemerdekaannya tanggal 15 November 1988 telah diakui oleh PBB.
Saat ini Palestina diakui sebagai negara oleh 138 dari total 193 negara anggota PBB, termasuk Indonesia dan sejak tahun 2012 melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor A/RES/67/19 diberikan status sebagai non-member observer state. Palestina belum secara resmi menjadi anggota PBB karena untuk menjadi anggota PBB harus mendapat rekomendasi oleh Dewan Keamanan PBB (DK PBB), yang mana hal tersebut hingga saat ini tidak bisa dilakukan karena rekomendasi dari DK PBB pasti akan di-veto oleh Amerika Serikat.
Penegakkan dari Perspektif Hukum Internasional
Hukum internasional tidak memiliki institusi penegak hukum sebagaimana layaknya hukum nasional. Oleh sebab itu, penegakan atas pelanggaran hukum ini diserahkan kepada negara – negara dalam bentuk reaksi. Hal ini, baik secara mandiri maupun kolektif (melalui PBB atau organisasi regional). Respons negara akan berkarakter persistent objection (penolakan secara persisten) atau sebagai lawannya, recognition (pengakuan). Kedua respon ini akan menentukan keabsahan klaim Israel.
Reaksi mayoritas negara saat ini memperlihatkan persistent objection terhadap tindakan Israel. Dalam sistem hukum internasional, penolakan semacam ini akan menghalangi klaim sepihak Israel menjadi sah, Ini berarti pendudukan de facto Israel di wilayah okupasi termasuk kebijakannya memindahkan ibu kota ke Jerusalem tepat dianggap tidak sah menurut hukum internasional. Inilah yang menjadi akar konflik antara Palestina – Israel.
Di sisi lain, negara – negara juga dilarang memberikan pengakuan atas situasi yang lahir dari pelanggaran serius terhadap norma ius cogens (peremptory norm of general international law). Larangan tersebut merupakan kebiasaan internasional yang terkodifikasi dalam Pasal 40 ayat (2) UN ILC Draft Article on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (2001). ICJ dalam Advisory opinion on Wall misalnya, melarang negara – negara mengakui situasi ilegal yang terlahir dari perbuatan Israel tentang pembangunan tembok di wilayah okupasi.
Penyelesaian Konflik
Dalam hal penyelesaian konflik hanya dapat terjadi jika dilihat dari perspektif hukum internasional sudah merestuinya. Hal ini negara – negara memberi pengakuan atas setiap apapun solusi yang disepakati oleh kedua negara yang berkonflik. Namun, sayangnya kesepakatan ini belum berhasil dicapai sehingga eskalasi konflik terus terjadi.
Eskalasi konflik yang terjadi belakangan ini bukan merupakan akar konflik melainkan akibat dari akar konflik yang sudah dan akan terus berlangsung. Sehingga, melalui macam pemicu, dan hanya akan berhenti jika akar konflik itu diselesaikan. Keperkasaan Israel atas Palestina yang lemah tidak dengan sendirinya menyelesaikan konflik ini. Dengan bukti bahwa logika hukum internasional bahwa might cannot make right, but right made might, sulit dibantah.
Indonesia bersama negara – negara lainnya pun telah menawarkan penyelesaian sengketa ini. Selain mendorong dengan melalui pengakuan atas Palestina sebagai negara, Indonesia juga mendukung inisiatif PBB guna menghidupkan kembali perundingan damai Palestina – Israel berdasarkan “Solusi dua negara” (two state solutions).
penerjemah | interpreter | legalisasi |