Sebagai pengguna media sosial atau medsos, masyarakat Indonesia harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Hal ini untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat agar tidak terjerat kasus pidana. Selain itu, ekspresi kebebasan berpendapat ini harus memegang etika agar tidak terjerat pada kasus hukum pidana di UU No.19 Tahun 2016 Jo UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Berikut hukum jika melakukan hate speech pada saat menyalurkan pendapat.
Multitafsir
Dalam UU ITE Pasal 28 Ayat 2, setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ujaran kebencian atau hate speech mencakup spektrum yang luas, mulai dari ucapan kasar terhadap orang lain, ucapan kebencian, hasutan kebencian, perkataan bias yang ekstrim, sampai hasutan kebencian yang berujung pada kekerasan. Ada dua unsur dalam rumusan Pasal 28 Ayat 2 yang mungkin menyebabkan multitafsir:
Pertama, frase “menyebarkan informasi”, sejauh mana suatu informasi harus menyebar sehingga dapat dikatakan memenuhi unsur ini? Apakah terbatas pada penyampaian informasi dalam forum publik yang dapat diakses dan dibaca oleh siapa pun? Atau termasuk penyampaian informasi dalam forum publik yang aksesnya dibatasi dengan cara misalnya jika disetel private?
Kedua, standar “rasa kebencian”. Menurut Robert Post, profesor hukum Yale Law School, Amerika Serikat (AS), dalam buku Extreme Speech and Democracy, suatu ucapan harus memenuhi standar intensitas tertentu agar dapat dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian yang dapat dipidana.
Hubungi tim marketing kami di sini.
Klasifikasi Jenis Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Dengan merujuk pada dokumen Rabat Plan of Action yang disusun oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (Officer of the High Commissioner for Human Rights atau OHCHR) pada 2021 untuk membedakan antara perkataan yang dilindungi oleh hak mengeluarkan pendapat dan ujaran kebencian (hate speech) dalam media sosial.
OHCHR menyarankan tiga klasifikasi ujaran kebencian atau hate speech, yaitu penyampaian pendapat yang harus diancam pidana; penyampaian pendapat yang dapat diancam dengan sanksi administrasi atau digugat secara perdata; dan penyampaian pendapat yang tidak dapat diancam sanksi apapun namun dapat ditangani dengan pendekatan lainnya melalui kebijakan pemerintah.
Penyampaian pendapat yang harus diancam pidana adalah hasutan untuk melakukan genosida, hasutan kekerasan, dan hasutan. Dengan cara menyerukan kebencian berdasarkan dua peraturan internasional berikut:
- Pasal 20 Ayat 2 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang mengatur bahwa ajakan kebencian terhadap suatu bangsa, ras, atau agama. Dengan maksud menghasut perbuatan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang oleh hukum
- Pasal 4 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) yang mengatur bahwa setiap Negara Anggota harus melarang segala bentuk propaganda yang didasarkan pada pemahaman yang berusaha untuk membenarkan atau mengajarkan kebencian terhadap ras dan diskriminasi.
Indonesia pun sudah meratifikasi kedua konvensi tersebut, pada tahun 1999 untuk ICERD dan 2005 untuk ICCPR.
Memperhitungkan Proporsi dan Keperluan
OHCHR menegaskan bahwa larangan beserta sanksi yang ditetapkan terhadap ujaran kebencian harus berdasarkan asas proporsionalitas, dan keperluan atau necessity yang dapat dinilai berdasarkan enam faktor.
- Konteks, yaitu suatu ujaran kebencian atau hate speech harus berkaitan dengan konteks sosial atau politik.
- Status atau posisi pelaku hate speech dalam suatu organisasi atau jabatan publik yang harus dipertimbangkan
- Kesengajaan. Merujuk pada Pasal 20 ICCPR, istilah “menganjurkan” dan “menghasut” mengisyaratkan adanya hubungan antara pelaku dan audiens. Dalam arti pelaku bermaksud dan sengaja untuk menggerakan orang lain
- Konten dan bentuk. Artinya, suatu ucapan ujaran kebencian harus dinilai sejauh mana ucapan tersebut bersifat langsung dan provokatif, serta bentuk, gaya, sifat argumen yang digunakan
- Jangkauan ujaran kebencian atau hate speech yang melibatkan penelitian terhadap sifat audiens yang dituju. Keluasan audiens, metode penyampaian ujaran kebencian, tempat dan frekuensi penyampaiannya
- Kemungkinan munculnya dampak dari suatu ujaran kebencian dan seberapa besar kemungkinan tersebut
Mengingat bahwa hukum pidana bersifat ultimum remedium atau sarana terakhir, maka pemerintah perlu menyusun ulang kualifikasi dan ruang lingkup ujaran kebencian.
penerjemah | interpreter | legalisasi |